Selasa, Oktober 5

Pengemis Terkaya di Indonesia

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis,
berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan
pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang
punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat
rumah. Berikut kisah hidupnya.
Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau
wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau
bercerita cukup banyak tentang hidup dan ”karir”-nya. Dari anak
pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang
menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.
Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa
lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-
minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak
buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan
bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia
punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.
Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya
Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di
kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua
rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan
bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang
dia bangun di Kota Semarang.
Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda
Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
*** Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika
menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan,
Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang
berwarna biru metalik. Meski punya mobil yang kinclong,
penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ”orang mampu”.
Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan
terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan
menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam
pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan
sekolah dasar.
Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia,
pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu
dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli.
” Yang penting halal,” ujarnya mantap. Cak To bercerita, hampir
seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara
empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia
sepuluh tahun. Menurut dia, tidak lama setelah peristiwa
pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak dan bapaknya dulu
pengemis di Bangkalan. ”Dulu awalnya saya diajak Emak untuk
meminta-minta di perempatan,” ungkapnya. Karena mengemis di
Bangkalan kurang ”menjanjikan”, awal 1970-an, Cak To diajak
orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di
rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal
mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan
Jembatan Merah.
Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya.
Ketika remaja, ”bakat” Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai
terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-
minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan,
tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang
melawan. ”Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,”
ungkapnya bangga. Meski berperawakan kurus dan hanya
bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia
bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika
uangnya dirampas.
Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas
disegani di kalangan pengemis. ”Wis tak nampek. Mon la nyalla
sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),”
tegasnya. Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak
menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia
petugas Satpol PP. ”Kami berpencar kalau mengemis,” jelasnya.
Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka
harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk
membebaskan.
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun
mengemis, berbagai ”ilmu” dia dapatkan untuk terus
meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara,
cara menghadapi aparat, dan sebagainya. Makin lama, Cak To
menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis
yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan
1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp
50 ribu per hari. ”Pokoknya sudah enak,” katanya. Dengan
penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli
sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung,
dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ”Saya pernah beli
oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,” kenangnya.
Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos
pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah. Cerita tentang
” keberhasilan” Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat
teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ”Kasihan, panen
mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,” ujarnya enteng. Sebelum
ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis
yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di
rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ”Kali pertama,
teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa
dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di
kampung, ” tegasnya.
Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-
bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya
Selatan, ada yang ke Surabaya Timur. Agar tidak mencolok, ketika
berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ”pos khusus”,
Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan.
Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.
Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut
menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah
Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri. Pada 1996 itu
pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia
menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah,
kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan …
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin
banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka
berikan kepada Cak To. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu
hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9
juta per bulan. Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk
anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor
setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ”Ya alhamdulillah,
anak buah saya masih loyal kepada saya,” ucapnya. Dari
penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian
nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga
tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ”Amal
itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,”
katanya. Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu,
Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ”Saya ingin naik
haji,” ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan
itu pada 2010 nanti.

Sumber:menujuhijau.blogspot.com/2010/05/pengemis-terkaya-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar